SlideShow

Image and video hosting by TinyPic
0

Masalah Pengangguran di Indonesia



Masalah pengangguran tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga dialami oleh negara-negara maju dengan tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk. Penyebab utama serta faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang yaitu terbatasnya penyerapan sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada di negara-negara maju karena rendahnya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja mulai dari usia 15 sampai 64 tahun yang sedang mencari pekerjaan atau yang belum mendapatkan pekerjaan, yang digunakan untuk mengukur pengangguran adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat pengangguran terbuka umumnya didefinisikan secara konvensional sebagai proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan, digunakan untuk mengetahui seberapa besar penawaran kerja yang tidak dapat masuk dalam pasar kerja di sebuah negara atau wilayah. Analisis pengangguran terutama berkaitan dengan pengangguran menurut kategori, provinsi, jenis kelamin, pendidikan, kelompok umur, daerah tempat tinggal, dan analisis pengangguran menurut beberapa negara. Secara umum, TPT perempuan pada tahun 2008 berada pada level 9,7 %   lebih tinggi daripada TPT laki-laki berkisar antara 7,6 %.
Menurut data Badan Pusat Statistik 2002, menunjukkan jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari keseluruhan angkatan kerja dan jumlah ini dua kali lipat lebih dari jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,3 juta jiwa atau 4,86% tahun 1996 setahun sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Data ini belum termasuk setengah penganggur, yakni orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang jumlahnya 28,9 juta orang pada tahun 2002. Krisis ekonomi ditambah dengan krisis moral para penyelenggara negara dengan maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menghambat pertumbuhan ekonomi yang justru akan memungkinkan terciptanya lapangan kerja.
Data tersebut menunjukkan struktur angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Angkatan kerja tahun 2002 yang berpendidikan SD ke bawah mencapai 59,05 juta orang atau sekitar 58,6 % dari angkatan kerja, SMP 17,49 juta orang, dan SMU 12,21 juta orang. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran akan disebutkan melalui beberapa poin.
1.     Besarnya angkatan kerja tidak seimbang dengan kesempatan kerja. Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi. 
2.      Struktur lapangan kerja tidak seimbang. 
3.   Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
4.    Penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang. Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.
Banyaknya jumlah pengangguran di Indonesia lama-lama akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya menjadi suatu krisis sosial. Pengangguran akan selalu berkaitan dengan kemiskinan yang identik dengan kebodohan, kejahatan dan perilaku yang menyimpang. Masalah sosial ini, dilihat dari banyaknya anak-anak yang orang tuanya menganggur dan turun ke jalanan menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas yang dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja terbagi dalam dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus).
1.   Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Jadi, setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
2.      Kebijakan mikro (khusus) dijabarkan dalam beberapa poin. 
a.   Pengembangan pola pikir wawasan penganggur. Setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai pola pikir yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
b.  Melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi.
c.    Membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
d.   Menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Semua itu perlu segera dibahas dan disederhanakan, sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
e.  Mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semua itu mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
f.  Mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan.
g.      Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
h.   Menyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan.
i.        Mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
j.      Mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.
Kesimpulan:
Pengangguran merupakan sebuah masalah yang kompleks, tidak hanya menyangkut masalah sosial bagi masyarakat luas tetapi juga merupakan masalah bagi individu yang menjalaninya. Masalah sosial merupakan masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh kita semua. Diharapkan masalah-masalah sosial lain yang timbul akibat pengangguran seperti kejahatan dan prostitusi juga dapat teratasi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat menekan jumlah pengangguran dengan salah satunya yaitu membuat kebijakan-kebijakan, diantaranya kebijakan makro dan mikro.
0

Masalah Utama Dunia Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakanlah hal yang penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan kita mampu membuka jendela pengetahuan dunia ini yang dapat kita gunakan sebagai ilmu yang berguna bagi pengembangan dan kemajuan bangsa ini. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sistem pendidikannya. Hal ini lah yang tercermin di negeri ini, Indonesia. Salah satu alasan negeri ini belum maju adalah terdapat di masalah pendidikan. Ironisnya pendidikan di negeri ini masih terbilang sangat mahal, padahal tidak semua golongan rakyat mampu menjangkau mahalnya biaya pendidikan tersebut. sehingga pendidikan masih sering dianggap barang mewah di negeri ini. Dan ternyata selain masalah biaya, dunia pendidikan kita masih banyak sekali menyimpan masalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini :  

Sistem Pendidikan yang masih kacau

UAN dinilai merupakan sistem yang kurang tepat
Tak bisa dipungkiri, sistem pendidikan di negara ini terbilang masih kacau. Hal ini bisa dilihat dari hasil dari sistem tersebut, dimana masih belum bisa memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang pintar hanya dalam semua mata pelajaranlah dan sering mendapatkan nilai tertinggilah yang menjadi patokan apakah siswa tersebut memenuhi keriteria dari sistem tersebut. Tentunya hal ini tidaklah adil bagi seluruh siswa. Siswa dengan berbagai karakter dipaksa mengikuti sistem dan cara belajar yang sama. Padahal tidak semua siswa memiliki satu jenis cara mereka dalam menyerap ilmu. Yang selama ini kita lihat di sekolah-sekolah, guru menerangkan, murid mendengar lalu latihan. Metode ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan terlalu kaku. Dan yang paling fatal mudah sekali menghilangkan minat belajar pada siswa. Memang ada beberapa karakter siswa yang bisa atau malah mudah dengan metode belajar seperti itu, namun sekali lagi tidak sedikit pula siswa yang tidak bisa menyerap materi pelajaran dengan metode seperti itu karena itu tadi perbedaan karakter dan ditambah pola pendidikan berbeda yang diterapkan oleh orang tua masing-masing siswa. Perlu diketahui bahwa metode belajar setiap manusia berbeda-beda sesuai dengan karakter mereka, ada tipe belajar secara visual, lingual, pendengaran, analisis, debat, individu, kelompok dan lain-lain.  Untuk itu ada baiknya sistem pendidikan yang seperti itu diubah yaitu dengan menganalisis kebutuhan belajar serta metode belajar yang tepat bagi siswa sebelum siswa tersebut masuk ke jenjang sekolah, lalu mengelompokan siswa ke beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan dan metode belajar yang dapat diterima siswa. Dengan begitu potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa dapat tergali lagi dengan maksimal.

Akses ke sarana-sarana pendidikan yang masih minim

Jembatan Indiana-Jones di Banten
Saya tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah. Apakah mereka mengetahui bahwa masih banyak di daerah terpencil sana terdapat akses ke sarana pendidikan yang masih belum memadai. Namun tak perlu jauh-jauh ke daerah-daerah terpencil di pelosok Indonesia. Di sekitar kita pun masih banyak akses menuju sarana pendidikan yang bisa dibilang sangat memprihatinkan. Contoh terkini yakni berita mengenai “Jembatan Indiana-Jones” yang terdapat di provinsi Banten yang notabene hanya berjarak beberapa puluh kilo dari DKI Jakarta yang sebagai Ibukota pusat Pemerintahan Indonesia, tempat Istana Negara berada dimana disitu bernaung orang paling nomor 1 di Indonesia. Hal ini tetntunya sangat ironis, apalagi berita tersebut sudah terlanjur tersebar ke penjuru dunia yang secara tak langsung ikut membawa citra buruk dunia pendidikan di negeri ini. Hal ini juga masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Jika tidak segera ditangani, bukannya tidak mungkin berita-berita lain mengenai citra buruk dunia pendidikan lainnya akan banyak terkuak di media-media asing.

Sarana-sarana pendidikan yang rusak
Apakah dengan sarana belajar seperti ini
siswa bisa fokus belajar?
Yang ini tak kalah mirisnya. Sudah akses menuju sarana pendidikan yang tak memadai, kali ini di tambah dengan sarana pendidikan itu sendiri yang bisa dibilang tak layak pakai. Dan ironisnya lagi, tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil saja, melainkan juga terjadi di daerah-daerah penyangga sekitar Ibukota DKI Jakarta. Lagi-lagi kali ini pemerintah menjadi biang keladinya atas semua sarana pendidikan yang belum memadai tersebut. Alasan dana sering menjadi benteng pemerintah atas sarana pendidikan yang masih belum memadai tersebut. Lalu kemanakah “upeti” rakyat yang disisihkan atas ke pemerintah tersebut? Apakah iya semua “upeti” tersebut tak mampu menutupi kekurangan dana untuk pembangunan sarana-sarana pendidikan tersebut? Memang masalah attitude oknum pejabat-pejabat tersebut masih sulit untuk diberantas. Mulai dari jabatan tertinggi, hingga jabatan terendah hampir semuanya pernah menikmati bagian dari  uang panas hasil bocornya “upeti” dari rakyat tersebut. Untuk masalah ini memang kembali kepada pribadi masing-masing saja, apakah nuraninya terbuka atau tidak. Bahkan dengan adanya KPK juga belum menjamin terberantasnya “tikus-tikus nakal” tersebut dari negeri kita Indonesia.

Minimnya tenaga pengajar

Minimnya tenaga pengajar membuat beberapa guru mengajar
secara bergiliran ke kelas lain
Tampaknya jadi untuk menimba ilmu di Indonesia cobaanya sangat berat ya? Setelah akses jalan yang sulit, sarana pendidikan yang tak layak kini minimnya tenaga pengajar juga masih menjadi kendala. Sebenarnya seberapa banyak sih tenaga-tenaga muda serta yang mengambil pendidikan sebagai guru? Cukup banyak, malahan sangat banyak. Ada tapinya, kebanyakan tenaga-tenaga pengajar yang notabene masih muda tersebut enggan untuk terjun ke daerah-daerah pelosok yang terpencil. Selain karena minimnya akses, pendapatan mereka di daerah-daerah terpencil tersebut juga tak sebanding dengan pengorbanan mereka untuk bisa masuk ke daerah-daerah terpencil tersebut. Bayangkan saja untuk masuk ke daerah pelosok yang akses jalannya masih susah tentunya diperlukan biaya yang sangat banyak, belum lagi untuk makan dan sebagainya, ya mana cukup? Ternyata masalah pendidikan ini mempunyai efek domino ke masalah-masalah lainnya ya. Untuk itu pemerintah seharusnya juga memperhatikan hal tersebut. Jika tidak, bukannya tidak mungkin sekolah yang nantinya sudah di bangun dengan anggaran tidak sedikit malah akan jadi onggokan bangunan kosong tanpa penghuni karena tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang disebabkan ketiadaan tenaga pengajar.

Minat belajar yang rendah

Inikah yang pantas disebut pelajar?
Jika kita tadi melihat dari sudut pandang infrastruktur, kini kita lihat dari sudut lain yakni dari sudut siswa. Loh memangnya ada yang salah dengan siswa? Ya tentu ada, terutama nih siswa-siswa dari wilayah kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan lain-lain. Masalah yang sering menimpa siswa-siswi di kota-kota besar yakni mengenai minat belajar. Jika di daerah-daerah pelosok siswa-siswinya mempunyai semangat yang besar untuk belajar walau dengan fasilitas minim, di kota-kota besar kebalikannya. Di kota-kota besar mayoritas sarana pendidikannya lebih bagus, komplit serta nyaman. Akses yang bagus serta tenaga pendidik yang berkualitas. Tetapi justru dengan sarana “mewah” tersebut siswa-siswi-nya mayoritas tak memiliki minat belajar yang tinggi. Ini bisa dilihat dari beberapa faktor, pertama siswa-siswi tersebut terlalu asik dengan kemajuan teknologi sehingga menurunkan minatnya akan belajar. Lalu dari sisi lain, terdapat siswa-siswinya yang lebih memilih membantu kedua orang tuanya mencari nafkah ketimbang untuk pergi sekolah, dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat lemah. Tentunya hal ini sangatlah aneh, yang di daerah terpencil dengan fasilitas minim mati-matian berjuang demi pendidikan mereka tetapi yang di kota malah kurang sekali minat belajarnya. Perlu di pikirkan lagi pemecahan masalahnya agar para siswa meningkat minat belajarnya. Ya sebenarnya banyak sekali masalah-masalah pendidikan yang ada di negeri ini. Tak bisa saya jelaskan satu per satu karena saya juga bukanlah seorang pengamat pendidikan di Indonesia. Namun dari pengalaman saya selama menimba ilimu di berbagai level atau jenjang pendidikan, terlihat bahwa masih banyak sekali kekurangan-kekuarangan yang ada di sistem pendidikan di negara kita. Kita sebagai rakyat Indonesia juga harus ikut berpartisipasi dalam kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Karena jika terus menunggu janji-janji pemerintah yang tak kunjung terealisasi, maka kita tidak akan pernah bisa maju serta mandiri untuk keluar dari segala situasi yang sulit ini. Selamat Hari Pendidkan Nasional! Semoga Pendidikan akan selalu menjadi salah satu prioritas utama yang perlu dibenahi.
0

Cara Mengatasai Masalah Pemukiman Kumuh di Indonesia

Slum atau permukiman kumuh bisasanya digunakan untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh secara spontan di perkotaan yang mempunyai kualitas perumahan di bawah standar minimal dalam lingkungan  yang kurang sehat dan tidak didukung oleh jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi, drainase (gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses darurat.
Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas
sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas baik dari
status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait
status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan
pemukiman liar (squatter). 
Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household) adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang tidak mempunyai salah satu dari indikator berikut: 
1. Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang ekstrim 
2. Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang bersama
3. Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau, 
4. Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5. Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure),  yang dapat melindungi penghuninya dari penggusuran paksa.
Mengapa permukiman kumuh berkembang? 
Permukiman kumuh bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di negara lain adalah barios (Venezuela), favela (Brazil),  katchi abadi (Pakistan), basti (Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia), skidrow (UK), ghetto (USA), shanty town. 
Banyak permukiman kumuh mempunyai sejarah panjang di kota-kota dunia, terutama pada tahun-tahun
awal terjadinya urbanisasi dan industrialiasi dimana terjadi migrasi besar-besaran penduduk desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara masyarakat miskin mengatasi persoalan perumahan yang terjangkau. 
Dari pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John Turner menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous settlement), dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai kemampuan mereka sendiri (Turner 1976). Permukiman semacam ini mempunyai potensi untuk menjadi lebih sehat/ teratur melalui  bantuan prasarana,  pengaturan dan pendampingan masyarakat. Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap berkembang:
 pertumbuhan penduduk dan tata-kelola kepemerintahan (governance). 
1. Pertumbuhan Penduduk
Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi. Pertumbuhan ini dapat berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun
pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik.  Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa dan hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa
mencari lapangan kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa. 
2. Tata-kelola pemerintahan (governance)
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan kumuh.
 Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau, masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang ada tanpa mempedulikan status tanahnya. 
Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi – ada yang membuat kebijakan ‘kota tertutup’ (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk menanganinya. 
Catatan statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar (squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk ‘pengakuan’ pemerintah terhadap keberadaan mereka di kota. 
Pendekatan untuk Mencegah Permukiman Kumuh Baru Menurut Cities Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru.
Salah satu adalah mengakui bahwa urbanisasi akan tetap terjadi dan pemerintah perlu merencanakan di mana pendatang baru akan tinggal. Kebijakan alternatif untuk
 mengembangkan perdesaan masih dianggap kurang efektif. Meskipun demikian India mengadopsi kebijakan ini karena 75% wilayah India masih merupakan perdesaan. 
Kepastian bermukim (Secure Tenure) Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa.  Kejelasan hak atas tanah memberikan keyakinan akan masa depan - rasa aman karena kejelasan hak (sewa ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan mereka.
Perbaikan secara bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas.  Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang kepastian bermukim. Seringkali masyarakat permukiman kumuh menghadapi berbagai hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah daerah untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang padat. 
Pengendalian tanah seringkali terkait dengan kekuatan politik dan korupsi, sehingga menyulitkan memperoleh informasi
tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan ketersediaan tanah. 
 
Hak warga kota
Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar ini. 
Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan ‘ruang’ dimana masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling berdialog tentang peluang-peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan permukiman kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.
 
Secure tenure atau kepastian bermukim adalah hak setiap individu dan kelompok atas perlindungan negara terhadap penggusuran yang tidak sesuai prosedur hukum atau persepsi akan terjadi penggusuran
Peningkatan permukiman kumuh (slum upgrading)
Slum upgrading atau peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman informal ditingkatkan secara bertahap, di’formal’kan dan dijadikan bagian dari kota, melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh. 
Peningkatan permukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (gorong-gorong) atau perumahan, tapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana menggerakan kegiatan social ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak yang terlibat – baik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah (tingkat pusat dan daerah).
Kegiatan ini juga mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan, pedestrian, drainase, air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas.  Salah satu komponen utama dalam peningkatan permukiman kumuh adalah meningkatkan status tanah (misalnya sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status administrasi permukiman (misalnya memberikan status RT/RW) sehingga dapat menjadi bagian dari kota. 
Pada akhirnya, upaya meningkatkan permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamika dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan,  manfaat dan investasi di dalam permukimannya. Mengapa Peningkatan Permukiman Kumuh Penting? 
Alasan utama peningkatan permukiman kumuh adalah agar masyarakat mempunyai hak dasar untuk hidup dengan martabat dan dalam kondisi yang layak. Meskipun kebanyakan masyarakat permukiman kumuh adalah migran, bukan alasan untuk tidak memberikan peluang hidup yang baik. Di tingkat yang lain, menjadi perhatian kota untuk meningkatkan permukiman kumuh dan mencegah pembentukan permukiman kumuh baru.
Bila permukiman kumuh mengalami kemunduran kualitas, maka pemerintah dapat kehilangan kendali atas penduduk tersebut dan permukiman kumuh tersebut menjadi daerah dengan tingkat kejahatan tinggi dan kemungkinan penularan penyakit yang berpengaruh pada seluruh kota.
Manfaat peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah:
- Meniningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kota – termasuk mengatasi
masalah illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan
perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat rentan
- Mendorong pengembangan ekonomi – peningkatan permukiman kumuh dapat
mendorong sumberdaya ekonomi yang ada 
- Menjawab isu kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitas,
penarikan investasi dan menurunkan tingkat kejahatan 
- Meningkatan kualitas kehidupan. Peningkatan permukiman kumuh meningkatkan
kualitas kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan
kejelasan status kewargakotaan, peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan
keamanan dan kepastian tinggal.
- Meningkatkan penyediaan hunian bagi masyarakat miskin dengan keterlibatan
masyarakat - merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala
besar dengan biaya rendah. 
Belajar dari Program Peningkatan Permukiman Kumuh  Kampung Improvement Program (KIP) –Indonesia 
Program  Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya dilakukan secara top-down tapi dalam perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal. 
Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang melibatkan masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik lingkungan)  dan mengupayakan ijin bangunan dan sertifikasi tanah.  Pemerintah Daerah Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
koperasi untuk kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil mendapat penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain, seperti Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besar dan berhasil.  Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya. Di tingkat nasional program semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor misalnya  Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung, NUSSP, P2KP dsb yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Belum ada kebijakan-strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama secara nasional. 
Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh menjadi semakin besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008. 
Program Baan Mankong – Thailand 
Community Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik independen yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan Sosial)  pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF). 
Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI justru belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti ‘secure housing’  atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM, akademisi dan institusi pendidikan. 
Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong:
1) peningkatan
permukiman kumuh yang disebut in-situ,
2) reblocking atau land readjustment,
 3) land sharing
di mana ada perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik
tanah dengan masyarakat,
4) rekonstruksi atau pembangunan kembali dan
5) relokasi. 
Untuk scaling-up proyek ini digunakan
 6 pendekatan yaitu: 
- Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang
ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut.
- Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil
melakukan peningkatan kualitas permukiman kumuh
- Peresmian proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang 
- Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh
Langkah ke Depan 
Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific
Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah
mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan
permukiman kumuh, yaitu: 
1. Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro
2. Perkuatkan peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan permukiman kumuh
3. Pengembangan kebijakan dan program berbasis komunitas 
4. Peningkatan peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan permukiman kumuh 
5. Perkuatan sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh Hasil Kelompok Kerja merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah yang melakukan peningkatan kumuh skala kota, peningkatan peran Pemerintah sebagai ‘pemberdaya’ (enabler) dan perkuatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis komunitas. 
Di tingkat nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman kumuh dan road-map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025 dapat dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan (SAPOLA) yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu kebijakan dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan.
0

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan
kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang
berkepanjangan.

PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan
kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap
tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi,
yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya
mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah
terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase
penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk
yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase
keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh
jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan
selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.


Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring
pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada
karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan
perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan
budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama
(SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman
berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan
selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil
pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang
menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini
tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk
ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa
membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten
Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin
karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka
kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen.
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk
target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target
sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro
yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model
ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin
secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski
demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan
seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang
spesifik-lokal.


Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu
dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi
memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di
tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu
relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan
belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke
dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut
harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih
besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses
terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat
dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu
mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang.
Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi,
dan lainnya.


Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan
secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan
kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat
daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik
nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan
secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah,
khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan
daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya
dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi
pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu
mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya
yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama
antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran
dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan
tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan
teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan
di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait,
perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat
kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk
keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis
yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan
tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal
maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain,
diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan
pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat
merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan
dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm