Slum atau
permukiman kumuh bisasanya digunakan untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh
secara spontan di perkotaan yang mempunyai kualitas perumahan di bawah standar
minimal dalam lingkungan yang kurang
sehat dan tidak didukung oleh jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi,
drainase (gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses darurat.
Ciri lain
permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke
fasilitas
sekolah,
kesehatan, ruang bersama dsb. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas
baik dari
status
administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota.
Terkait
status hukum
atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan
pemukiman liar
(squatter).
Menurut definisi
UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household) adalah
kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang
tidak mempunyai salah satu dari indikator berikut:
1. Rumah yang
kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang ekstrim
2. Ruang huni
yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang bersama
3. Akses yang
mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang
terjangkau,
4. Akses ke
sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5. Kepastian
atau rasa aman bermukim (secure tenure),
yang dapat melindungi penghuninya dari penggusuran paksa.
Mengapa
permukiman kumuh berkembang?
Permukiman kumuh
bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di negara lain adalah
barios (Venezuela), favela (Brazil),
katchi abadi (Pakistan), basti (Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia),
skidrow (UK), ghetto (USA), shanty town.
Banyak
permukiman kumuh mempunyai sejarah panjang di kota-kota dunia, terutama pada
tahun-tahun
awal terjadinya
urbanisasi dan industrialiasi dimana terjadi migrasi besar-besaran penduduk
desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara masyarakat miskin
mengatasi persoalan perumahan yang terjangkau.
Dari
pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John Turner
menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous settlement),
dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai kemampuan
mereka sendiri (Turner 1976). Permukiman semacam ini mempunyai potensi untuk
menjadi lebih sehat/ teratur melalui
bantuan prasarana, pengaturan dan
pendampingan masyarakat. Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap
berkembang:
pertumbuhan penduduk dan tata-kelola
kepemerintahan (governance).
1. Pertumbuhan
Penduduk
Tingkat
pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi. Pertumbuhan ini dapat
berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun
pertumbuhan
penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena faktor
dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan
ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik
ke kota karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang baik. Penghasilan yang
rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke
kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa dan
hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa
mencari lapangan
kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat
perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara temporer dan rutin, di mana
masyarakat desa pergi ke kota dan mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang
kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka
akan kembali ke desa.
2. Tata-kelola
pemerintahan (governance)
Tata-kelola
pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman kumuh.
Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan
mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan
permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi
juga memicu pertumbuhan kumuh.
Urbanisasi membutuhkan perumahan yang
terjangkau yang justru tidak mampu disediakan pemerintah atau swasta. Karena
ketidak tersediaan hunian terjangkau, masyarakat miskin mencari peluang sendiri
untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian dengan menempati tanah dan membangun
gubuknya, atau menyewa rumah petak yang ada tanpa mempedulikan status
tanahnya.
Sikap pemerintah
terhadap urbanisasi bervariasi – ada yang membuat kebijakan ‘kota tertutup’
(seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di
permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung
mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen
untuk menanganinya.
Catatan
statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar (squatter)
belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh
pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk
‘pengakuan’ pemerintah terhadap keberadaan mereka di kota.
Pendekatan untuk
Mencegah Permukiman Kumuh Baru Menurut Cities Alliance (lembaga internasional
yang menangani hibah, pengetahuan dan advokasi untuk kepentingan peningkatan
permukiman kumuh di dunia) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah
untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru.
Salah satu
adalah mengakui bahwa urbanisasi akan tetap terjadi dan pemerintah perlu
merencanakan di mana pendatang baru akan tinggal. Kebijakan alternatif untuk
mengembangkan perdesaan masih dianggap kurang
efektif. Meskipun demikian India mengadopsi kebijakan ini karena 75% wilayah
India masih merupakan perdesaan.
Kepastian
bermukim (Secure Tenure) Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk
menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik
atau hak sewa. Kejelasan hak atas tanah
memberikan keyakinan akan masa depan - rasa aman karena kejelasan hak (sewa ataupun
milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan penghuni
berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan
mereka.
Perbaikan secara
bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas. Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang
kepastian bermukim. Seringkali masyarakat permukiman kumuh menghadapi berbagai
hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak atas
hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak disfungsional dan peraturan
yang ada menyulitkan pemerintah daerah untuk mencari tanah terjangkau dan
berada di lokasi yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang padat.
Pengendalian
tanah seringkali terkait dengan kekuatan politik dan korupsi, sehingga
menyulitkan memperoleh informasi
tentang
penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan ketersediaan tanah.
Hak warga kota
Masyarakat yang
tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan
seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak
ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar
ini.
Proses
merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka
untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan
‘ruang’ dimana masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling
berdialog tentang peluang-peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh.
Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta
merancang program peningkatan permukiman kumuh yang lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan
pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.
Secure tenure
atau kepastian bermukim adalah hak setiap individu dan kelompok atas perlindungan
negara terhadap penggusuran yang tidak sesuai prosedur hukum atau persepsi akan
terjadi penggusuran
Peningkatan
permukiman kumuh (slum upgrading)
Slum upgrading
atau peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman
informal ditingkatkan secara bertahap, di’formal’kan dan dijadikan bagian dari
kota, melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan
komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh.
Peningkatan
permukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (gorong-gorong)
atau perumahan, tapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana menggerakan
kegiatan social ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat
dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak
yang terlibat – baik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah
(tingkat pusat dan daerah).
Kegiatan ini
juga mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan, pedestrian,
drainase, air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses ke pendidikan dan
pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan
kualitas. Salah satu komponen utama
dalam peningkatan permukiman kumuh adalah meningkatkan status tanah (misalnya
sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status administrasi
permukiman (misalnya memberikan status RT/RW) sehingga dapat menjadi bagian
dari kota.
Pada akhirnya,
upaya meningkatkan permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamika
dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan,
manfaat dan investasi di dalam permukimannya. Mengapa Peningkatan
Permukiman Kumuh Penting?
Alasan utama
peningkatan permukiman kumuh adalah agar masyarakat mempunyai hak dasar untuk
hidup dengan martabat dan dalam kondisi yang layak. Meskipun kebanyakan masyarakat
permukiman kumuh adalah migran, bukan alasan untuk tidak memberikan peluang
hidup yang baik. Di tingkat yang lain, menjadi perhatian kota untuk meningkatkan
permukiman kumuh dan mencegah pembentukan permukiman kumuh baru.
Bila permukiman
kumuh mengalami kemunduran kualitas, maka pemerintah dapat kehilangan kendali
atas penduduk tersebut dan permukiman kumuh tersebut menjadi daerah dengan
tingkat kejahatan tinggi dan kemungkinan penularan penyakit yang berpengaruh
pada seluruh kota.
Manfaat
peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah:
- Meniningkatkan
keterlibatan masyarakat dalam kota – termasuk mengatasi
masalah
illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan
perlindungan
sosial bagi kelompok masyarakat rentan
- Mendorong
pengembangan ekonomi – peningkatan permukiman kumuh dapat
mendorong
sumberdaya ekonomi yang ada
- Menjawab isu
kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitas,
penarikan investasi
dan menurunkan tingkat kejahatan
- Meningkatan
kualitas kehidupan. Peningkatan permukiman kumuh meningkatkan
kualitas
kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan
kejelasan status
kewargakotaan, peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan
keamanan dan
kepastian tinggal.
- Meningkatkan
penyediaan hunian bagi masyarakat miskin dengan keterlibatan
masyarakat -
merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala
besar dengan
biaya rendah.
Belajar dari
Program Peningkatan Permukiman Kumuh Kampung
Improvement Program (KIP) –Indonesia
Program Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori
Indonesia di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program
nasional di kota-kota Indonesia dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya
dilakukan secara top-down tapi dalam perkembangannya semakin melibatkan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di Jakarta lebih
dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui KIP. Namun
kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki justru
menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP dan
menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal.
Di Surabaya,
program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang melibatkan
masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik lingkungan) dan mengupayakan ijin bangunan dan
sertifikasi tanah. Pemerintah Daerah Surabaya
bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dalam
pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam
bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
koperasi untuk
kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil mendapat penghargaaan
The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the Habitat
Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain, seperti
Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besar dan
berhasil. Program KIP di Indonesia masih
dilanjutkan di Surabaya. Di tingkat nasional program semacam ini diadopsi
dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung,
NUSSP, P2KP dsb yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Belum ada
kebijakan-strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati
bersama secara nasional.
Peran Pemerintah
Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh menjadi semakin
besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan program
peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan mensinergikan
sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan kota
Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari panitia
Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun
2008.
Program Baan
Mankong – Thailand
Community
Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik independen
yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan Sosial) pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban
Community Development Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF).
Menurut Somsook
Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI justru belajar dari
program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan budaya
masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti ‘secure housing’ atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun
2003. Program ini menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari
proses pengembangan solusi yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan
di kota-kota Thailand. Sistem perencanaan konvensional yang top-down digantikan
dengan pengelolaan program berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi
pelaksana kegiatan yang mereka rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari
sistem jaringan komunitas, LSM, akademisi dan institusi pendidikan.
Ada 5 strategi
yang diterapkan dalam program Baan Mankong:
1) peningkatan
permukiman kumuh
yang disebut in-situ,
2) reblocking
atau land readjustment,
3) land sharing
di mana ada
perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik
tanah dengan
masyarakat,
4) rekonstruksi
atau pembangunan kembali dan
5)
relokasi.
Untuk scaling-up
proyek ini digunakan
6 pendekatan yaitu:
- Proyek uji
coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang
ingin belajar
dari pengalaman proyek tersebut.
- Pengembangan
pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil
melakukan
peningkatan kualitas permukiman kumuh
- Peresmian
proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang
- Pertukaran
pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh
Langkah ke
Depan
Kelompok Kerja
Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific
Ministerial
Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah
mengidentifikasikan
beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan
permukiman
kumuh, yaitu:
1. Pengembangan
sektor informal dan bisnis mikro
2. Perkuatkan
peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan permukiman kumuh
3. Pengembangan
kebijakan dan program berbasis komunitas
4. Peningkatan
peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan permukiman
kumuh
5. Perkuatan
sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh Hasil Kelompok Kerja
merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah yang melakukan
peningkatan kumuh skala kota, peningkatan peran Pemerintah sebagai ‘pemberdaya’
(enabler) dan perkuatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis komunitas.
Di tingkat
nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman kumuh dan
road-map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025 dapat
dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan (SAPOLA)
yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu kebijakan
dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan.
0 komentar:
Posting Komentar