Sistem Pendidikan yang masih kacau
UAN dinilai merupakan sistem yang kurang tepat |
Tak
bisa dipungkiri, sistem pendidikan di negara ini terbilang masih kacau.
Hal ini bisa dilihat dari hasil dari sistem tersebut, dimana masih belum
bisa memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa.
Siswa yang pintar hanya dalam semua mata pelajaranlah dan sering
mendapatkan nilai tertinggilah yang menjadi patokan apakah siswa
tersebut memenuhi keriteria dari sistem tersebut. Tentunya hal ini
tidaklah adil bagi seluruh siswa. Siswa dengan berbagai karakter dipaksa
mengikuti sistem dan cara belajar yang sama. Padahal tidak semua siswa
memiliki satu jenis cara mereka dalam menyerap ilmu. Yang selama ini
kita lihat di sekolah-sekolah, guru menerangkan, murid mendengar lalu
latihan. Metode ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan terlalu kaku.
Dan yang paling fatal mudah sekali menghilangkan minat belajar pada
siswa. Memang ada beberapa karakter siswa yang bisa atau malah mudah
dengan metode belajar seperti itu, namun sekali lagi tidak sedikit pula
siswa yang tidak bisa menyerap materi pelajaran dengan metode seperti
itu karena itu tadi perbedaan karakter dan ditambah pola pendidikan
berbeda yang diterapkan oleh orang tua masing-masing siswa. Perlu
diketahui bahwa metode belajar setiap manusia berbeda-beda sesuai dengan
karakter mereka, ada tipe belajar secara visual, lingual, pendengaran,
analisis, debat, individu, kelompok dan lain-lain. Untuk itu ada
baiknya sistem pendidikan yang seperti itu diubah yaitu dengan
menganalisis kebutuhan belajar serta metode belajar yang tepat bagi
siswa sebelum siswa tersebut masuk ke jenjang sekolah, lalu
mengelompokan siswa ke beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan dan
metode belajar yang dapat diterima siswa. Dengan begitu potensi-potensi
yang dimiliki oleh setiap siswa dapat tergali lagi dengan maksimal.
Akses ke sarana-sarana pendidikan yang masih minim
Jembatan Indiana-Jones di Banten |
Saya
tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah. Apakah mereka mengetahui
bahwa masih banyak di daerah terpencil sana terdapat akses ke sarana
pendidikan yang masih belum memadai. Namun tak perlu jauh-jauh ke
daerah-daerah terpencil di pelosok Indonesia. Di sekitar kita pun masih
banyak akses menuju sarana pendidikan yang bisa dibilang sangat
memprihatinkan. Contoh terkini yakni berita mengenai “Jembatan
Indiana-Jones” yang terdapat di provinsi Banten yang notabene hanya
berjarak beberapa puluh kilo dari DKI Jakarta yang sebagai Ibukota pusat
Pemerintahan Indonesia, tempat Istana Negara berada dimana disitu
bernaung orang paling nomor 1 di Indonesia. Hal ini tetntunya sangat
ironis, apalagi berita tersebut sudah terlanjur tersebar ke penjuru
dunia yang secara tak langsung ikut membawa citra buruk dunia pendidikan
di negeri ini. Hal ini juga masih menjadi PR besar bagi pemerintah.
Jika tidak segera ditangani, bukannya tidak mungkin berita-berita lain
mengenai citra buruk dunia pendidikan lainnya akan banyak terkuak di
media-media asing.
Sarana-sarana pendidikan yang rusak
Apakah dengan sarana belajar seperti ini siswa bisa fokus belajar? |
Yang
ini tak kalah mirisnya. Sudah akses menuju sarana pendidikan yang tak
memadai, kali ini di tambah dengan sarana pendidikan itu sendiri yang
bisa dibilang tak layak pakai. Dan ironisnya lagi, tidak hanya terjadi
di daerah-daerah terpencil saja, melainkan juga terjadi di daerah-daerah
penyangga sekitar Ibukota DKI Jakarta. Lagi-lagi kali ini pemerintah
menjadi biang keladinya atas semua sarana pendidikan yang belum memadai
tersebut. Alasan dana sering menjadi benteng pemerintah atas sarana
pendidikan yang masih belum memadai tersebut. Lalu kemanakah “upeti”
rakyat yang disisihkan atas ke pemerintah tersebut? Apakah iya semua
“upeti” tersebut tak mampu menutupi kekurangan dana untuk pembangunan
sarana-sarana pendidikan tersebut? Memang masalah attitude oknum
pejabat-pejabat tersebut masih sulit untuk diberantas. Mulai dari
jabatan tertinggi, hingga jabatan terendah hampir semuanya pernah
menikmati bagian dari uang panas hasil bocornya “upeti” dari rakyat
tersebut. Untuk masalah ini memang kembali kepada pribadi masing-masing
saja, apakah nuraninya terbuka atau tidak. Bahkan dengan adanya KPK juga
belum menjamin terberantasnya “tikus-tikus nakal” tersebut dari negeri
kita Indonesia.
Minimnya tenaga pengajar
Minimnya tenaga pengajar membuat beberapa guru mengajar secara bergiliran ke kelas lain |
Tampaknya
jadi untuk menimba ilmu di Indonesia cobaanya sangat berat ya? Setelah
akses jalan yang sulit, sarana pendidikan yang tak layak kini minimnya
tenaga pengajar juga masih menjadi kendala. Sebenarnya seberapa banyak
sih tenaga-tenaga muda serta yang mengambil pendidikan sebagai guru?
Cukup banyak, malahan sangat banyak. Ada tapinya, kebanyakan
tenaga-tenaga pengajar yang notabene masih muda tersebut enggan untuk
terjun ke daerah-daerah pelosok yang terpencil. Selain karena minimnya
akses, pendapatan mereka di daerah-daerah terpencil tersebut juga tak
sebanding dengan pengorbanan mereka untuk bisa masuk ke daerah-daerah
terpencil tersebut. Bayangkan saja untuk masuk ke daerah pelosok yang
akses jalannya masih susah tentunya diperlukan biaya yang sangat banyak,
belum lagi untuk makan dan sebagainya, ya mana cukup? Ternyata masalah
pendidikan ini mempunyai efek domino ke masalah-masalah lainnya ya.
Untuk itu pemerintah seharusnya juga memperhatikan hal tersebut. Jika
tidak, bukannya tidak mungkin sekolah yang nantinya sudah di bangun
dengan anggaran tidak sedikit malah akan jadi onggokan bangunan kosong
tanpa penghuni karena tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang
disebabkan ketiadaan tenaga pengajar.
Minat belajar yang rendah
Inikah yang pantas disebut pelajar? |
Jika
kita tadi melihat dari sudut pandang infrastruktur, kini kita lihat
dari sudut lain yakni dari sudut siswa. Loh memangnya ada yang salah
dengan siswa? Ya tentu ada, terutama nih siswa-siswa dari wilayah
kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya dan lain-lain. Masalah yang sering menimpa siswa-siswi di
kota-kota besar yakni mengenai minat belajar. Jika di daerah-daerah
pelosok siswa-siswinya mempunyai semangat yang besar untuk belajar walau
dengan fasilitas minim, di kota-kota besar kebalikannya. Di kota-kota
besar mayoritas sarana pendidikannya lebih bagus, komplit serta nyaman.
Akses yang bagus serta tenaga pendidik yang berkualitas. Tetapi justru
dengan sarana “mewah” tersebut siswa-siswi-nya mayoritas tak memiliki
minat belajar yang tinggi. Ini bisa dilihat dari beberapa faktor,
pertama siswa-siswi tersebut terlalu asik dengan kemajuan teknologi
sehingga menurunkan minatnya akan belajar. Lalu dari sisi lain, terdapat
siswa-siswinya yang lebih memilih membantu kedua orang tuanya mencari
nafkah ketimbang untuk pergi sekolah, dikarenakan kondisi ekonomi mereka
yang sangat lemah. Tentunya hal ini sangatlah aneh, yang di daerah
terpencil dengan fasilitas minim mati-matian berjuang demi pendidikan
mereka tetapi yang di kota malah kurang sekali minat belajarnya. Perlu
di pikirkan lagi pemecahan masalahnya agar para siswa meningkat minat
belajarnya. Ya sebenarnya banyak sekali masalah-masalah pendidikan yang
ada di negeri ini. Tak bisa saya jelaskan satu per satu karena saya juga
bukanlah seorang pengamat pendidikan di Indonesia. Namun dari
pengalaman saya selama menimba ilimu di berbagai level atau jenjang
pendidikan, terlihat bahwa masih banyak sekali kekurangan-kekuarangan
yang ada di sistem pendidikan di negara kita. Kita sebagai rakyat
Indonesia juga harus ikut berpartisipasi dalam kemajuan dunia pendidikan
di Indonesia. Karena jika terus menunggu janji-janji pemerintah yang
tak kunjung terealisasi, maka kita tidak akan pernah bisa maju serta
mandiri untuk keluar dari segala situasi yang sulit ini. Selamat Hari
Pendidkan Nasional! Semoga Pendidikan akan selalu menjadi salah satu
prioritas utama yang perlu dibenahi.
0 komentar:
Posting Komentar